Minggu, 27 Juli 2014

Penipuan Dalam KHK



Penipuan
Kan. 1098 menetapkan:
Orang yang melangsungkan perkawinan karena tertipu oleh muslihat yang dilakukan untuk memperoleh kesepakatan, mengenai suatu kualitas dari pihak lain yang menurut hakikatnya sendiri dapat mengacau persekutuan hidup perkawinan , menikah dengan tidak sah.

          Kanon ini masih melanjutkan pembahasan dalam kanon sebelumnya (kan. 1097) mengenai kualitas diri orang. Perbedaan mendasar antara kedua kanon tersebut terletak sumber dari kekeliruan atas kualitas diri seseorang. Dalam kan. 1097 kekeliruan mengenai kualitas diri pasangan disebabkan atau bersumber dari subjek yang bersangkutan karena ia memiliki penilaian yang keliru atau palsu terhadap diri pasangan. Dengan kata lain kekeliruan bersumber dari persepsi atau penilaian diri sendiri. Sedangkan dalam kan. 1098 kekeliruan mengenai kualitas diri pasangan disebabkan oleh kejahtan orang lain lewat tipu-muslihat. Dengan tipu-muslihatnya seseorang mau menanamkan sebuah realitas palsu dalam diri subjek, sementara subjek sendiri merasa memiliki persepsi yang benar mengenai diri pasangannya padahal persepsi itu palsu, keliru dan tidak sesuai dengan realitas objektif.[1]

Tidak semua tipu-muslihat menjadi alasan kebatalan (causa nullitatis) atau dasar hukum untuk proses anulasi perkawinan (caput nullitatis). Kan. 1098 menetapkan beberapa unsur yang harus ada dan memainkan peranan dalam tindakan tipu-muslihat, yang menjadi kesepakatan nikah cacat dan tidak sah.
Subjek Aktif
Kan. 1098 menuntut adanya subjek aktif yang melakukan penipuan. Pelaku tipu-muslihat bisa salah satu pasangan mempelai, atau kedua mempelai yang saling menipu, atau oranng ketiga siapa pun dengan sasaran salah satu atau kedua pasangan. Jadi, penipuan tidak harus dilakukan oleh salah satu pasangan sebagaimana umumnya terjadi, melainkan juga bisa bersumber dari sembarang pihak ketiga, misalnya keluarga atau mertua dari pasangan, atasan, direktur perusahaan, mantan pacar dari kedua pasanagan, dan lain sebagainya.

Subjek Pasif
      Kan. 1098 juga menuntut adanya subjek pasif dalam tipu-muslihat. Yang dimaksud adalah salah satu pihak mengalami kekeliruan (must have been in error) mengenai kualitas dari pasangannya sebagai akibat dari tipu-muslihat seseorang. Berbeda dengan subjek aktif yang bisa pihak-pihak yang menikah atau sembarangan orang ketiga, subjek pasif tipu-muslihat hanyalah pihak-pihak yang menikah saja, karena tujuan langsung dari penipuan adalah pemberian kesepakatan nikah oleh pihak-pihak yang menikah. Penipuan terhadap keluarga pasangan atau mertua tidak memiliki relevansi hukum dalam kan. 1098. dengan demikian, subjek pasif bisa salah satu atau bahkan kedua pihak yang menikah.  

Tipu-muslihat
Penipuan bisa didefinisikan sebagai tindakan penyesatan yang dilakukan dengan sengaja terhadap seseorang dengan tujuan agar si korban melakukan tindakan tertentu. Penipu biasanya memanfaatkan ketulusan dan kepercayaan seseorang untuk menggiringnya melakukan tindakan tertentu sesuai keinginannya, sebab tanpa menipu si korban tidak akan melakukan tindakan yang diinginkannya itu. Menurut kan. 1098 tindakan penipuan harus memiliki 2 (dua) elemen berikut:
a. Harus ada hubungan sebab-akibat langsung antara penipuan dan kekeliruan (dolus- error, deceit-error). Artinya, kekeliruan mengenai suatu kualitas dari pasangan sungguh-sungguh merupakan akibat langsung dari penipuan yang disengaja (direct result of a deceit induced intentionally). Ini disebut dolus causam dans, dolus determinans, atau dolus efficax, yakni penipuan yang secara efektif mengakibatkan kekeliruan, dan kekeliruan mengakibatkan pemberian kesepakatan nikah. Sebaliknya, penipuan bisa terjadi secara insidental (dolus incidens), di mana tanpa penipuan itu kesepakatan nikah tetap diberikanb dan perkawinan dapat berlangsung baik.
      Tipu-muslihat bisa berupa tindakan positif (dolus positivus), yakni perbuatan, kata-kata, atau isyarat yang jelas-jelas menyesatkan. Selain itu, penipuan bisa dilakukan dengan kelalaian (dolus negativus), misalnya dengan diam, menutup-nutupi, main sandiwara, dan sebagainya. Jadi, penipuan tidak terjadi hanya dengan tindakan positif, melainkan juga dengan tindakan “negatif” atau kelalaian yang disengaja, sehingga pihak lain tertipu untuk memberikan kesepakatan nikahnya. Misalnya, salah satu pasangan dengan sengaja “diam” mengenai cacat atau penyakit yang dideritanya.

b. Harus ada kaitan langsung antara kekeliruan dan kesepakatan nikah (error- consensus, error-mmatrimonial consent). Yang dimaksud ialah bahwa tipu-muslihat haruslah ditujukan secara langsung untuk memperoleh kesepakatan nikah dari pihak lain, baik kesepakatan virtual yang tidak ditarik kembal maupun aktual. Sebab seandainya tidak ada penipuan, yang bersangkutan pasti tidak akan memberikan kesepakatan nikah. Karena itu, bila terjadi penipuan terhadap pasangan, namun hal itu tidak ditujukan secara langsung untuk memperoleh kesepakatan nikah, penipuan itu tidak memiliki relevansi hukum dalam kan. 1098. Jadi, penipuan harus terarah secara langsung pada pihak seseorang untuk menikah, pada keputusan untuk menikah dan memberikan kesepakatan nikah. Yang dituntut oleh kan. 1098 bukanlah bahwa kekeliruan yang diakibatkan oleh tipu-muslihat harus sungguh-sungguh menentukan bagi kehendak si korban unruk menikah, melainkan bahwa kekeliruan itu diakibatkan oleh tipu-muslihat untuk mendapatkan kesepakatan nikah.
           
Kualitas
Yang dimaksud di sini ialah kualitas dari calon pasangan, yang mestinya menjadi objek kehendak dari pihak lain untuk menikahinya, bukan kualitas orang lain yang barangkali memiliki relasi dekat dengan calon pasanngan dan yang akan tinggal serumah, misalnya calon mertua, kakak atau adik calon pasangan.penipuan mengenai kualitas orang lain yang bukan calon pasangan tidak mamiliki relevansi yuridis apa pun. Kualitas yang menjadi objek tipu-muslihat harus ada dalam diri pasangan pada saat pernikahan diteguhkan. Kualitas itu bisa bersifat fisik (tidak menderita cacat tertentu atau tidak steril) atau kualitas moral dalam arti luas (kualitas psikologi, yuridis, sosial, profesional, ekonomis, atau religius, dan sebagainya). Kualitas itu bisa dimiliki sejak lahir (innate quality) atau diperoleh kemudian (acquired quality).
Namun, tidak setiap kualitas calon pasangan yang menjadi objek tipu-muslihat membuat kesepakatan nikah cacat. Kan. 1098 memberi batasan sebagai berikut: “[…] kualitas yang menurut hakikatnya sendiri dapat sangat mengacau persekutuan hidup perkawinan”. Dengan batasan ini hukum Gereja tidak memberikan relevansi yuridis apa pun terhadap “kualitas-kualitas” yang sifatnay superfisial, sepele, atau impulsif-subjektif, yang tidak memiliki kaitan apa pun dengan “hal-hal yang menurut hakikatnya sendiri dapat sangat mengacau persekutuan hidup perkawinan”. Dengan kata lain, kualitas diri itu harus merupakan suatu yang berat secara objektif dan menentukan partnership of conjugal life.


[1] Alf. Catur Raharso Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik (Malang: Dioma, 2008), hlm. 201.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar