Penipuan
Kan. 1098 menetapkan:
Orang yang melangsungkan perkawinan karena
tertipu oleh muslihat yang dilakukan untuk memperoleh kesepakatan, mengenai
suatu kualitas dari pihak lain yang menurut hakikatnya sendiri dapat mengacau
persekutuan hidup perkawinan , menikah dengan tidak sah.
Kanon ini masih
melanjutkan pembahasan dalam kanon sebelumnya (kan. 1097) mengenai kualitas
diri orang. Perbedaan mendasar antara kedua kanon tersebut terletak sumber dari
kekeliruan atas kualitas diri seseorang. Dalam kan. 1097 kekeliruan mengenai
kualitas diri pasangan disebabkan atau bersumber dari subjek yang bersangkutan
karena ia memiliki penilaian yang keliru atau palsu terhadap diri pasangan.
Dengan kata lain kekeliruan bersumber dari persepsi atau penilaian diri
sendiri. Sedangkan dalam kan. 1098 kekeliruan mengenai kualitas diri pasangan
disebabkan oleh kejahtan orang lain lewat tipu-muslihat. Dengan
tipu-muslihatnya seseorang mau menanamkan sebuah realitas palsu dalam diri
subjek, sementara subjek sendiri merasa memiliki persepsi yang benar mengenai
diri pasangannya padahal persepsi itu palsu, keliru dan tidak sesuai dengan
realitas objektif.[1]
Tidak
semua tipu-muslihat menjadi alasan kebatalan (causa nullitatis) atau dasar hukum untuk proses anulasi perkawinan
(caput nullitatis). Kan. 1098 menetapkan beberapa unsur yang
harus ada dan memainkan peranan dalam tindakan tipu-muslihat, yang menjadi
kesepakatan nikah cacat dan tidak sah.
Subjek Aktif
Kan.
1098 menuntut adanya subjek aktif yang melakukan penipuan. Pelaku tipu-muslihat
bisa salah satu pasangan mempelai, atau kedua mempelai yang saling menipu, atau
oranng ketiga siapa pun dengan sasaran salah satu atau kedua pasangan. Jadi,
penipuan tidak harus dilakukan oleh salah satu pasangan sebagaimana umumnya
terjadi, melainkan juga bisa bersumber dari sembarang pihak ketiga, misalnya
keluarga atau mertua dari pasangan, atasan, direktur perusahaan, mantan pacar
dari kedua pasanagan, dan lain sebagainya.
Subjek Pasif
Kan. 1098 juga menuntut
adanya subjek pasif dalam tipu-muslihat. Yang dimaksud adalah salah satu pihak
mengalami kekeliruan (must have been in
error) mengenai kualitas dari pasangannya sebagai akibat dari tipu-muslihat
seseorang. Berbeda dengan subjek aktif yang bisa pihak-pihak yang menikah atau
sembarangan orang ketiga, subjek pasif tipu-muslihat hanyalah pihak-pihak yang
menikah saja, karena tujuan langsung dari penipuan adalah pemberian kesepakatan
nikah oleh pihak-pihak yang menikah. Penipuan terhadap keluarga pasangan atau
mertua tidak memiliki relevansi hukum dalam kan. 1098. dengan demikian, subjek pasif
bisa salah satu atau bahkan kedua pihak yang menikah.
Tipu-muslihat
Penipuan bisa didefinisikan sebagai tindakan penyesatan yang dilakukan
dengan sengaja terhadap seseorang dengan tujuan agar si korban melakukan
tindakan tertentu. Penipu biasanya memanfaatkan ketulusan dan kepercayaan
seseorang untuk menggiringnya melakukan tindakan tertentu sesuai keinginannya,
sebab tanpa menipu si korban tidak akan melakukan tindakan yang diinginkannya
itu. Menurut kan.
1098 tindakan penipuan harus memiliki 2 (dua) elemen berikut:
a. Harus ada
hubungan sebab-akibat langsung antara penipuan dan kekeliruan (dolus- error, deceit-error). Artinya,
kekeliruan mengenai suatu kualitas dari pasangan sungguh-sungguh merupakan
akibat langsung dari penipuan yang disengaja (direct result of a deceit induced intentionally). Ini disebut dolus causam dans, dolus determinans, atau
dolus efficax, yakni penipuan yang
secara efektif mengakibatkan kekeliruan, dan kekeliruan mengakibatkan pemberian
kesepakatan nikah. Sebaliknya, penipuan bisa terjadi secara insidental (dolus incidens), di mana tanpa penipuan
itu kesepakatan nikah tetap diberikanb dan perkawinan dapat berlangsung baik.
Tipu-muslihat bisa berupa
tindakan positif (dolus positivus),
yakni perbuatan, kata-kata, atau isyarat yang jelas-jelas menyesatkan. Selain
itu, penipuan bisa dilakukan dengan kelalaian (dolus negativus), misalnya dengan diam, menutup-nutupi, main
sandiwara, dan sebagainya. Jadi, penipuan tidak terjadi hanya dengan tindakan
positif, melainkan juga dengan tindakan “negatif” atau kelalaian yang
disengaja, sehingga pihak lain tertipu untuk memberikan kesepakatan nikahnya.
Misalnya, salah satu pasangan dengan sengaja “diam” mengenai cacat atau
penyakit yang dideritanya.
b. Harus ada
kaitan langsung antara kekeliruan dan kesepakatan nikah (error- consensus, error-mmatrimonial consent). Yang dimaksud ialah
bahwa tipu-muslihat haruslah ditujukan secara langsung untuk memperoleh
kesepakatan nikah dari pihak lain, baik kesepakatan virtual yang tidak ditarik
kembal maupun aktual. Sebab seandainya tidak ada penipuan, yang bersangkutan
pasti tidak akan memberikan kesepakatan nikah. Karena itu, bila terjadi
penipuan terhadap pasangan, namun hal itu tidak ditujukan secara langsung untuk
memperoleh kesepakatan nikah, penipuan itu tidak memiliki relevansi hukum dalam
kan. 1098.
Jadi, penipuan harus terarah secara langsung pada pihak seseorang untuk
menikah, pada keputusan untuk menikah dan memberikan kesepakatan nikah. Yang
dituntut oleh kan. 1098 bukanlah bahwa kekeliruan yang diakibatkan oleh
tipu-muslihat harus sungguh-sungguh menentukan bagi kehendak si korban unruk
menikah, melainkan bahwa kekeliruan itu diakibatkan oleh tipu-muslihat untuk
mendapatkan kesepakatan nikah.
Kualitas
Yang
dimaksud di sini ialah kualitas dari calon pasangan, yang mestinya menjadi objek
kehendak dari pihak lain untuk menikahinya, bukan kualitas orang lain yang
barangkali memiliki relasi dekat dengan calon pasanngan dan yang akan tinggal
serumah, misalnya calon mertua, kakak atau adik calon pasangan.penipuan
mengenai kualitas orang lain yang bukan calon pasangan tidak mamiliki relevansi
yuridis apa pun. Kualitas yang menjadi objek tipu-muslihat harus ada dalam diri
pasangan pada saat pernikahan diteguhkan. Kualitas itu bisa bersifat fisik
(tidak menderita cacat tertentu atau tidak steril) atau kualitas moral dalam
arti luas (kualitas psikologi, yuridis, sosial, profesional, ekonomis, atau
religius, dan sebagainya). Kualitas itu bisa dimiliki sejak lahir (innate quality) atau diperoleh kemudian
(acquired quality).
Namun, tidak setiap kualitas calon pasangan yang menjadi objek
tipu-muslihat membuat kesepakatan nikah cacat. Kan. 1098 memberi batasan sebagai berikut:
“[…] kualitas yang menurut hakikatnya sendiri dapat sangat mengacau persekutuan
hidup perkawinan”. Dengan batasan ini hukum Gereja tidak memberikan relevansi
yuridis apa pun terhadap “kualitas-kualitas” yang sifatnay superfisial, sepele,
atau impulsif-subjektif, yang tidak memiliki kaitan apa pun dengan “hal-hal
yang menurut hakikatnya sendiri dapat sangat mengacau persekutuan hidup
perkawinan”. Dengan kata lain, kualitas diri itu harus merupakan suatu yang
berat secara objektif dan menentukan partnership
of conjugal life.
[1]
Alf. Catur Raharso Kesepakatan Nikah
dalam Hukum Perkawinan Katolik (Malang: Dioma, 2008), hlm. 201.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar