Senin, 28 Juli 2014

Rapat Setan

Rapat Internasional Setan

Setan mengadakan rapat internasional.Setan

Dalam kata sambutannya kepada para iblis yang berkumpul itu, setan mengatakan:

“Kita tidak dapat mencegah umat Kristiani pergi ke gereja. Kita tidak dapat mencegah mereka membaca Kitab Suci dan menemukan kebenaran. Kita bahkan tidak dapat menjauhkan mereka dari nilai-nilai tradisi yang luhur. Namun demikian, kita harus dapat melakukan sesuatu. Kita akan mencegah mereka membangun hubungan yang akrab, mesra serta abadi dengan Kristus. Jika umat Kristiani itu mempunyai hubungan yang akrab dan mesra dengan Yesus, kuasa kita atas mereka akan hancur. Jadi, biarkan mereka pergi ke gereja, biarkan mereka hidup seturut tradisi mereka yang luhur, tetapi curilah waktu mereka, sehingga mereka tidak dapat membangun hubungan tersebut.

Inilah yang aku ingin kalian lakukan. Ganggu dan cobai mereka dalam mempertahankan serta memelihara hubungan yang amat penting tersebut dengan Sang Juruselamat!”

“Bagaimana kita dapat melakukannya?” teriak para iblis.

“Buatlah mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak penting. Temukan cara untuk menghabiskan waktu mereka,” jawab setan.

“Bujuklah mereka agar menjadi boros, boros dan boros sehingga mereka berhutang, berhutang dan berhutang. Yakinkan para istri agar pergi bekerja dengan jam kerja yang panjang dan para suami untuk bekerja 6 hingga 7 hari per minggu, 10 sampai 12 jam per hari, agar mereka memiliki cukup uang untuk menunjang gaya hidup mereka. Cegah mereka melewatkan waktu bersama anak-anak mereka. Jika keluarga mereka terpecah, pastilah rumah mereka tidak lagi dapat menjadi tempat istirahat dari tekanan pekerjaan. Juga:

Kacaukan pikiran mereka supaya mereka tidak dapat mendengar suara batin mereka.
Rayulah mereka untuk menghidupkan radio atau tape setiap kali mereka bepergian, serta menonton TV, VCD atau pun main play station dan komputer secara terus-menerus di rumah mereka.

Pastikan bahwa toko-toko dan juga restauran-restauran di seluruh dunia menggemakan musik duniawi secara terus-menerus. Lagu-lagu itu akan menyesatkan pikiran mereka dan dengan demikian memutuskan hubungan mereka dengan Kristus.

Penuhi meja-meja mereka dengan suratkabar-suratkabar serta majalah-majalah duniawi.

Jejali pikiran mereka dengan berita-berita terhangat 24 jam sehari.

Serbu saat-saat mereka berkendaraan dengan papan-papan reklame.

Banjiri kotak-kotak surat mereka dengan surat-surat yang tidak berguna, surat undian/lotere, brosur-brosur, segala jenis surat penawaran dan promosi, barang-barang obral, jasa serta harapan-harapan palsu.

Pada saat rekreasi, biarkan mereka berhura-hura sepuasnya. Biarkan mereka pulang dari rekreasi dalam keadaan capai, lelah, gelisah dan tidak siap menyambut hari yang baru.

Jangan biarkan mereka pergi menikmati keindahan alam dan mengagumi karya ciptaan Tuhan. Sebaliknya, antar saja mereka ke taman-taman hiburan, pertandingan olah raga, konser dan bioskop-bioskop.

Jika mereka berkumpul dalam persekutuan doa, libatkan mereka dalam gosip dan isu-isu sehingga mereka pulang dengan pikiran terbeban dan emosi terganggu.

Biarkan mereka terlibat dalam misi mencari jiwa, tetapi limpahilah hidup mereka dengan begitu banyak kesenangan sehingga mereka tidak punya waktu untuk mencari kuasa Kristus dalam doa. Segera mereka akan bekerja dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri, mengorbankan kesehatan dan keluarga mereka demi kesenangan yang mereka cari.”

RISALAH RAPAT:
Rapat yang hebat. Para iblis pergi dengan penuh semangat untuk melaksanakan tugas mereka, yaitu membuat umat Kristiani di mana pun menjadi sibuk, sibuk dan sibuk, pergi ke sana dan ke sini.
Apakah setan berhasil dengan rencananya itu? Kamulah jurinya.
Coba lihat definisi ini SIBUK: Si Iblis BUtakan Kamu, sehingga kamu tidak dapat datang kepada sang Terang; atau dalam bahasa Inggris BUSY: Being  Under  Satan's  Yoke, kamu ada dalam kuasa setan.

sumber : Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley

Mata, Telinga dan Mulut



2 Mata, 2 Telinga dan 1 Mulut

Kita lahir dengan 2 mata di depan wajah kita, karena kita tidak boleh selalu melihat ke belakang. Tapi pandanglah semua itu kedepan, pandanglah masa depan kita.
Kita dilahirkan dengan 2 buah telinga di kanan dan di kiri, supaya kita bisa mendengarkan semuanya dari dua buah sisi. Untuk bisa mengumpulkan pujian dan kritik dan menyeleksi mana yang benar dan mana yang salah.
Kita lahir dengan otak didalam tengkorak kepala kita. Sehingga tidak peduli semiskin apapun kita, kita tetap kaya. Karena tidak akan ada satu orang pun yang bisa mencuri otak kita, pikiran kita dan ide kita. Dan apa yang kita pikirkan dalam otak kita jauh lebih berharga dari pada emas dan perhiasan.
Kita lahir dengan 2 mata, 2 telinga tapi kita Cuma diberi 1 buah mulut. Itu Artinya Kita harusnya lebih mendengar, melihat 2 x lebih banyak daripada berbicara. Berhati-hatilah dengan apa yang kita ucapkan. Karena ucapan yang menyakitkan sangat sulit ditarik kembali. Sehingga ingatlah bicara yang perlu tapi lihat dan dengarlah sebanyak-banyaknya.
Kita lahir hanya dengan 1 hati jauh didalam tulang iga kita. Mengingatkan kita pada penghargaan dan pemberian cinta diharapkan berasal dari hati kita yang paling dalam. Belajar untuk mencintai dan menikmati betapa kita dicintai tapi jangan pernah mengharapkan orang lain untuk mencintai kita seperti kita mencintai dia.
Berilah cinta tanpa meminta balasan dan kita akan menemukan cinta yang jauh lebih indah.

Hukuman Mati




1. Pengantar
            Manusia merupakan mahluk yang bermartabat. Martabat hidup manusia bersumber dari dalam dirinya yang merupakan citra Allah. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (bdk. Kej 1:26-27). Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah Allah menjadi Tuan atas kehidupan manusia karena hanya Dialah yang mematikan dan Dialah yang menghidupkan.
            Hukuman mati merupakan topik yang banyak diperdebatkan dalam dunia saat ini. Perdebatan muncul karena adanya kontroversi seputar hak negara atas hidup seseorang. Di satu sisi, banyak yang mendukung hukuman mati dan di sisi lain tidak sedikit juga yang menolak. Argumen mendasar dari mereka yang menerima hukuman mati adalah demi kebaikan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Mereka yang menolak hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati adalah tindakan tidak berperikemanusiaan karena telah menghilangkan nyawa manusia. Apa sebenarnya hukuman mati? Bagaimana sikap Gereja?

2. Panorama Umum Seputar Hukuman Mati
2.1 Pengertian Hukuman Mati
Istilah hukuman mati berasal dari 2 suku kata, hukum dan mati. Hukum berarti peraturan yang dibuat oleh satu kekuasaan atau adat yang berlaku dalam suatu masyarakat. Di sini arti hukuman sebagai sanksi yang diberikan kepada seseorang yang melanggar aturan. Mati berarti kehilangan nyawa. Dengan demikian hukuman mati dapat diartikan sebagai sanksi mati yang diputuskan oleh pengadilan resmi negara karena kejahatan yang dilakukan oleh terpidana.[1]

2.2 Tindakan Kejahatan yang Diancam Hukuman Mati
Berdasar pada defenisi di atas dapat dikatakan bahwa hukuman mati mengandaikan adanya suatu otoritas negara karena adanya suatu aturan yang dilanggar atau tindak kejahatan. Beberapa tindakan kejahatan yang kerap diancam dengan hukuman mati adalah tindakan subversi, pembunuhan berencana, kejahatan narkotika dan pembajakan. Dalam sejarah telah banyak orang yang dihukum mati karena beberapa alasan tersebut.
2.2.1 Subversi
            Subversi adalah bentuk kejahatan yang merongrong kestabilan jalannya pemerintahan yang sah dalam suatu negara. Kejahatan ini dianggap sebagai bentuk tindakan yang layak mendapat hukuman berat termasuk hukuman mati. Di Indonesia, kejahatan ini di atur dalam KUHP (Kitab Undang Hukum Pidana) pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 1 dan 140 ayat 3.[2]

2.2.2 Pembunuhan Berencana
            Pembunuhan berencana merupakan tindakan melenyapkan nyawa orang lain dengan sengaja, dengan cara yang telah direncanakan sebelumnya. Tindak kejahatan ini pada umumnya tergolong kejahatan berat. Di Indonesia, kejahatan pembunuhan berencana diancam dengan hukuman mati seturut KUHP pasal 140 ayat 3 dan pasal 340.[3]

2.2.3 Kejahatan Narkotika
            Kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang langsung berhubungan dengan pengguna, pengekspor, pengimpor, penerima dan penawar. Narkotika pada dasarnya berguna bagi kehidupan manusia terutama untuk dunia medis, hanya saja penyalahgunaan narkotika tersebut akan sangat merugikan kehidupan manusia. Di Indonesia, kejahatan narkotika diatur dalam KUHP no 9 Pasal 36 b tahun 1976.[4]

2.2.4 Pembajakan
            Kejahatan pembajakan adalah pembajakan dalam penerbangan dan pelayaran yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Kejahatan pembajakan dalam penerbangan diatur dalam KUHP no 4 tahun 1976 pasal 476 ayat 2, sedangkan tentang pelayaran diatur dalam KUHP pasal 444. pasal-pasal ini mengancam hukuman mati bagi yang melakukan pembajakan dalam penerbangan maupun dalam pelayaran. Pasal ini mengancam pelaku baik individu maupun kelompok dengan hukuman mati bila membajak dan mengakibatkan kerusakan pesawat terbang dan menimbulkan meninggalnya orang dalam pesawat yang sedang mengudara.[5]

2.2 Beberapa Bentuk Hukuman Mati
Praktek hukuman mati dilaksanakan dengan berbagai cara. Ada yang dalam bentuk ditembak mati, digantung, dirajam, dikursi-listrikkan bahkan ada yang disalibkan. Bentuk-bentuk hukuman mati tersebut pada dasarnya bertujuan agar seorang terpidana tersebut dapat mati dengan segera tanpa harus menderita lama.

2.2.1 Tembak Mati
            Eksekusi hukuman mati melalui bentuk ini biasanya dilaksanakan secara rahasia. Tempat dan waktu eksekusi tidak disampaikan kepada publik. Eksekusi dilaksanakan oleh sekelompok regu tembak yang telah dipersiapkan oleh Kepolisian Negara seturut jumlah terdakwa. Sasaran tembak adalah jantung, namun apabila hasil otopsi menunjukkan terdakwa ternyata belum mati pemimpin eksekusi akan menembak terdakwa pada bagian atas telinga (otak).[6]

2.2.2 Hukum Gantung
            Bentuk hukuman mati ini dilaksanakan dalam suatu ruangan khusus. Terdakwa mengakhiri hidupnya pada seutas tali yan gdiikatkan pada tiang gantungan. Adapun di bawah tiang gantungan tersebut terdapat ruangan kosong. Saat penghukuman akan dilakukan, si terdakwa dieprintahkan untuk memasuki ruangan kosong tersebut dan seorang hakim membacakan putusan secara lengkap. Terdakwa kemudian menghadap tiang gantungan. Sebuah tudung hitam akan dikenakan pada kepalanya, tangannya diikat ke belakang dan seutas tali dipasang pada lehernya. Ketika tiba waktunya, seorang eksekutor akan membuka pintu ruangan kosong tepat di bawah kaki terdakwa sehingga terdakwa akan tergantung. Setelah beberapa saat seorang dokter akan memastikan kematiannya.[7]

2.2.3 Mati Disuntik
            Hukuman mati dengan penyuntikan berlangsung dengan menggunakan cairan kimia. Terdapat 3 jenis cairan kimia yang biasanya digunakan. Thiopenthal-natrium yang bertujuan membuat terdakwa tertidur pulas; selanjutnya dialirkan pancuroniumbromide yang berfungsi untuk melumpuhkan otot dan pernafasan dan yang ketiga disuntikkan cairan beracun dengan sasarannya tepat pada pembuluh vena korban.[8]

2.2.4 Mati Dirajam
            Kata Rajam mempunyai dua arti. Pertama, penghukuman dengna lemparan batu bagi mereka yang kedapatan berzinah. Kedua, penghukuman dengan lemparan batu bagi pelanggar hukum. Secara implisit hukuman rajam berarti tindakan penyiksaan terhadap fisik seseorang yang secara perlahan mengakibatkan kematian.[9]

3. Dukungan dan Penolakan Hukuman Mati
            Pelaksanaan hukuman mati memang mengundang kontroversi. Ada yang mendukung dan ada yang menolak. Argumen-argumen yang dikemukakan baik oleh mereka yang mendukung maupun yang menolak keduanya dapat dieprtanggungjawabkan dan masuk akal.
3.1 Dukungan atas Hukuman Mati

3.1.1 Demi Hak Hidup Orang Banyak
            Hak hidup merupakan hak hakiki dari setiap manusia. Hak ini hendaknya harus selalu dihormati karena hak tersebut merupakan anugerah Allah. Setiap manusia dengan begitu seharusnya juga mengakui dan menghormati hak hidup orang lain. Setiap manusia dengan demikian dipanggil untuk melawan segala bentuk usaha yang mengancam hak atas hidup tersebut terlebih yang berhubungan dengan orang banyak. Serang penjahat tentu lebih baik mati agar hak hidup orang banyak tidak terancam oleh tindak kejahatannya.[10]

3.1.2 Wewenang Negara atas Hukuman Mati
            Hukum dibuat demi ketertiban dan kesejahteraan bersama. Setiap warga negara wajib patuh-taat berdasarkan hati nuraninya terhadap perundang-undangan yang berlaku. Jika terdapat warga negara yang tidak mengindahkan hukum yang telah ditetapkan maka negara berhak dan berkewajiban memberikan sanksi termasuk hukuman mati.[11]

3.1.3 Silih atas Kejahatan
Gagasan silih untuk memperbaiki tata nilai yang telah dilanggar berdasar pada pemikiran bahwa hak hidup manusia di dunia berasal dari Tuhan. Jika seseorang oleh kejahatannya menyebabkan hidup orang lain terancam atau hilang, hak hidupnyapun boleh dilanggar. Secara implisit pandangan ini memiliki unsur balas dendam. Patut disayangkan bahwa tindak kejahatan masih saja terjadi. Sebagai silih atas tindak kejahatan, hukuman mati layak untuk dilaksanakan.  Silih diartikan sebagai upaya memulihkan tatanan masyarakat yang telah terganggu.[12]

3.1.4 Hukuman Seumur Hidup Belum Tentu Lebih Ringan
B. Bawazir mendukung hukuman mati dengan mengatakan bahwa penjara seumur hidup itu lebih kejam daripada hukuman mati. Baginya, penderitaan seumur hidup lebih berat daripada dia yang menderita sekecap mata dan lewat. Sementara itu, Hartawi A.M mendukung hukuman mati diberlakukan di Indonesia dengan mengatakan hukuman mati sebagai “Social Defence.” Spesifiknya, hukuman mati merupakan pertahanan sosial demi terhindarnya masyarakat dari ancaman kehidupannya sendiri. Hukuman mati merupakan senjata ampuh berhadapan dengan berbagai kejahatan yang menimpah masyarakat.[13]
Seseorang yang akan dihukum mati mengalami konflik berat dalam dirinya hanya ketika ia akan menjalani hukuman. Sedangkan orang yang menjalani hukuman penjara seumur hidup akan mengalami konflik dalam dirinya juga seumur hidup. Oleh karena itu, hukuman mati masih dibutuhkan.

3.1.5 Demi Penegakan Hukum
            Tugas pemerintah adalah menegakkan kesejahteraan bersama dengan membuat aturan-aturan yang harus ditaati oleh semua warganya agar ketertiban umum dapat tercapai. Tindakan yang mengganggu kesejahteraan bersama harus dikenai sanksi termasuk hukuman mati. Pemberian sanksi menjadi salah satu usaha penegakan hukum itu sendiri.[14]

3.1.6 Contoh dan Tindakan Preventif
            Hukuman mati juga dapat digunakan menjadi cautu contoh sekaligus tindakan preventif dalam memerangi tindak kejahatan. Kehadiran hukuman mati menjadi suatu peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan kejahatan. Selain itu masyarakat yang mungkin berniat melakukan kejahatan dengan adanya hukuman mati dapat meyadari tindakannya sebelum akhirnya ia harus mati.[15]
3.2 Penolakan atas Hukuman Mati
3.2.1 Penjahat Kehilangan Hak atas Hidupnya
            Kehidupan berasal dari Allah dan bukan dari manusia. Setiap manusia berhak untuk hidup meski ia adalah seorang penjahat. Hukuman mati  yang diberlakukan oleh negara bagi penjahat tertentu dengan demikian tidak tepat. Hidup berasal dari Allah dan bukan dari negara. Kekuasaan negara membuat seorang penjahat kehilangan hak atas hidupnya. Negara dengan demikian tidak menghormati hak hidup warganya, terlebih merasa berhak atas kehidupan manusia.[16]

3.2.2 Mencari Alternatif Lain dari Hukuman
            hak hidup merupakan anugerah dari Tuhan. Manusia tidak berhak untuk mengambil nyawa orang lain sekalipun orang itu adalah penjahat. Banyak ahli bergelut dalam bidang hukuman mati. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati bukanlah cara yang tepat untuk menindaklanjuti kejahatan. Perkembangan zaman yang pesat di berbagai bidang mendorong manusia untuk mencari cara melindungi dirinya dan kepentingan umum dari ancaman kejahatan dengan baik. Di sisi lain, kita harus mengakui bahwa penjahat juga menggunakan kemajuan zaman untuk mengganggu kepentingan umum. Akan tetapi hal tersebut bukanlah menjadi sebab penerapan hukuman mati. Hukuman mati bukan satu-satunya cara yang dapat digunakan untuk melindungi manusia dari kejahatan.[17]

3.2.3 Tindakan Balas Dendam
            Hukuman mati pada dasarnya tidak ada bedanya dengan tindakan balas dendam yang dibahasakan dengan lebih positif yakni sebagai silih. Silih yang dimaksud adalah suatu tindakan untuk memperbaiki tata nilai yang dilanggar sebagai bentuk pertobatan untuk Tuhan. Hukuman mati hanya merupakan luapan emosi yang tidak berperikemanusiaan.[18]

3.2.4 Gagasan Rekonsiliasi
            Kesempatan untuk berubah merupakan idedi balik rekonsiliasi. Maksud dari gagasan rekonsiliasi adalah membina terpidana agar bertobat dan menjadi masyarakat yang baik. Gagasan ini muncul karena adanya suatu kesadaran masyarakat bahwa tindak kejahatan tidak timbul karena manusia ingin berbuat jahat. Terdapat banyak hal yang membuat seseorang menjadi jahat, misalnya tontonan-tontonan di TV yang memperlihatkan sejumlah model kejahatan mempengaruhi seeorang untuk berbuat dan mempraktekkan hal serupa.[19]

3.2.5 Kemungkinan Kekeliruan dan Ketidakadilan
            Para penentang hukuman mati melihat adanya kemungkinan kekeliruan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pengadilan dalam mengeluarkan keputusan. Keputusan memang bisa diubah hanya saja apabila keputusan telah dilaksanakan dan seseorang telah mati karena keputusan tersebut padahal ternyata ada kekeliruan maka tidak ada seorang pun yang mampu mengembalikan kehidupan yang telah terlanjur dicabut tersebut. Sebagai antisipasi atas kekeliruan dan ketidakadilan maka hukuman mati tentulah tidak perlu dilakukan![20]

3.2.6 Kepekaan terhadap Nilai Hidup Manusia
            Manusia adalah mahluk paling sempurna di anatara ciptaan lain. Kehidupan manusia sendiri adalah suatu anugrah dari Tuhan yang begitu luhur dan tidak tergantikan oleh apa pun. Keluhuran hidup manusia menjadi argumen atas  penolakan hukuman mati. Kematian seseorang memang akan terjadi akan tetapi yang menjadi persoalan adalah dengan cara bagaimana ia mati?  Hukuman mati tentulah bukan bentuk penghargaan terhadap keluhuran hidup manusia dan karenanya harus dihapuskan.[21]

4. Gereja dan Hukuman Mati
            Pandangan atas hukuman mati di dalam Gereja mengalami perkembangan dari masa ke masa. Gereja pernah membenarkan hukuman mati atas tindak-tindak kejahatan dengan berdasar pada pandangan Negara sebagai perpanjangan tangan Tuhan. Negara berhak menjatuhkan hukuman mati demi kepentingan banyak orang, kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya.
            Di dalam Kitab Suci sendiri memang tidak terdapat persetujuan ataupun penoolakan atas hukuman mati. Perjanjian Lama justru member indikasi suatu persetujuan atas hukuman mati dengan prinsip balas dendam. Dalam Perjanjian Baru indikasi pembenaran hukuman mati kehilangan gemanya dengan warta hukum cinta kasih dari Yesus.
            Walaupun ajaran Yesus jelas-jelas menolak setiap bentuk kekerasan terhadap hidup manusia, tradisi Gereja malah pernah mendukung dan membenarkan pelaksanaan hukuman mati dengan sejumlah justifikasi yang ditemukan dalam kitab suci, misalnya dalam Roma,13:1-7; yoh.19:11; IPtr 2:3. Rm.13:1-7 umumnya menjadi dasar justifikasi Gereja pada masa lalu terhadap praktek hukuman mati. Artinya hukmuan mati dibenarkan asal dijalankan oleh otoritas publik atau negara yang dilihat sebagai representasi kuasa Allah atas manusia. Menjalankan hukuman mati dilihat sebagai bagian dari tugas, wewenang serta tanggungjawab negara demi menjamin kesejahteraan umum yang berarti menjamin keamanan dan perlindungan hidup para warganya. Ketika jaminan dan perlindungan hidup itu terancam, maka negara dengan kekuatan dan otoritasnya dapat mengambil tindakan tegas, termasuk mempraktekan hukuman mati.

4.1 Sikap Gereja atas Hukuman Mati
            Pada dasarnya Gereja dengan tegas menolak hukuman mati. Sikap Gereja bertolak pada pandangan atas kekudusan hidup dan keluhuran martabat manusia.[22] Paus Pius XII mengungkapkan penolakannya atas praktek hukuman mati. Selama manusia tidak bersalah, hidupnya tidak boleh diganggu gugat. Hanya Allah penguasa atas hidup! Negara tidak berhak menguasai hak hidup seseorang. Pematian harus dihindari apabila tujuan hukuman dapat dicapai dengan cara tidak berdarah.[23]
            Penolakan Gereja terhadap hukuman mati juga diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II di dalam ensikliknya Evangelium Vitae (EV). Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa nilai kehidupan manusia tidak dapat diganggu-gugat. Kekudusan hidup manusia menjadi landasan bagi setiap penghilangan nyawa manusia, termasuk hukuman mati (bdk. EV 56). Paus Yohanes Paulus II menghimbau agar hukuman mati diubah menjadi hukuman yang lebih ringan yang dapat member waktu dan ajakan untuk pembaruan bagi orang yang bersalah.[24] Patut diperhatikan bahwa Bapa Suci telah senantiasa memohon dengan sangat demi keringanan hukuman mati. Walau demikian, beliau tidak mengutuk hak negara untuk menjalankan otoritasnya dalam mengeksekusi seorang penjahat besar, melainkan mempertanyakan apakah negara pernah secara mutlak harus melaksanakan otoritas yang demikian dalam situasi sekarang ini. [25]
Masyarakat mempunyai sarana untuk melindungi diri tanpa harus menggunakan hukuman yang kejam dan tidak perlu. Penghapusan hukuman mati akan menjadi peneguhan yang berani atas kepercayaan bahwa umat manusia dapat ebrhasil menanggulangi kejahatan. Penghapusan hukuman mati akan membangkitkan harapan baru akan nilai kemanusiaan yang tiada taranya.[26] Dalam masyarakat dewasa ini hukuman mati tidak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun. Negara jangan melaksanakan kekuasaannya atas hak hidup manusia bil efek yang buruk melebihi efek baik. Pada prinsipnya hukuman mati lebih banyak mendatangkan dampak yang merugikan daripada menguntungkan. Hukuman mati sudah saatnya untuk dihapuskan.[27]

4.2 Penilaian Moral Katolik
Avery Dulles meringkas ajaran Gereja berkaitan dengan hukuman mati dalam bentuk sepuluh tesis berikut. [28]
  1. Tujuan hukuman di pengadilan sipil ialah empat hal: rehabilitasi penjahat, perlindungan masyarakat terhadap kejahatan, pencegahan penjahat potensial lain, dan keadilan retributif.
  2. Pembalasan yang adil yang berusaha menegakkan tatanan yang adil dari segala sesuatu, tak boleh dicampuradukkan dengan balas dendam yang patut ditegur.
  3. Hukuman boleh dan harus diberikan dengan hormat dan kasih terhadap orang yang dihukum
  4. Penjahat dapat patut mati. Menurut kisah Kitab Suci, Allah kadang-kadang memberikan hukuman mati sendiri dan kadang-kadang menugaskan orang lian melaksanakannya.
  5. Orang perorangan dan kelompok privat tak boleh atas kuasa sendiri mendatangkan kematian sebagai hukuman.
  6. Negara mempunyai hak, pada prinsipnya, untuk memberikan hukuman mati dalam kasus-kasus di mana tiada keraguan tentang beratnya pelanggaran dan kesalahan orang tertuduh.
  7. Hukuman mati jangan dijatuhkan bila tujuan hukuman dapat sama-sama atau lebih baik dicapai dengan sarana lain yang tak berdarah, seperti pemenjaraan.
  8. Hukuman mati tak sepatutnya, bila ada efek negatif yang serius untuk masyarakat, seperti kesalahan pengadilan, meningkatnya rasa balas dendam, atau kekurangan hormat terhadap nilai hidup manusia tak bersalah.
  9. Orang yang secara khusus mewakili Gereja, seperti klerus dan kaum religius, mengingat panggilan khususnya, hendaknya tidak memaklumkan atau melaksanakan hukuman mati.
  10. Orang Katolik, dalam usaha membentuk pandangan apakah hukuman mati harus didukung sebagai kebijaksanaan umum, atau dalam situasi tertentu, hendaknya memperhatikan bimbingan Paus dan para Uskup. Ajaran Katolik yang lazim harus dipahami, seperti saya berusaha memahaminya, dalam kesinambungan dengan Kitab Suci dan Tradisi.


[1] W.J.S. Purwodarminto, Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), 1983, hlm. 750.
[2] KUHP pasal 104: “makar dengan maksud membunuh presiden atau wakil presiden atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. KUHP pasala 111 ayat 2: “jika membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang dan sungguh terjadi, diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”; KUHP pasal 124 ayat 1: “pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun dijatuhkan jika si pelaku membantu musuh waktu perang”; KUHP pasal 140 ayat 3: “makar terhadap raja atau kepala negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun” [Lihat Moehadi Zaenal, Pidana Mati: Dihapuskan atau Dipertahankan (Yogyakarta: PT. Hanindita, 1984), hlm. 26-27; bdk. Piet Go, Hidup dan Kesehatan, (Malang: STFT Widya Sasana, 1984), hlm. 28.]
[3] KUHP pasal 140 ayat 3: “makar terhadap raja atau kepala negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”; KUHP 340: “barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun” [Lihat Moehadi Zaenal, Pidana Mati: Dihapuskan atau Dipertahankan (Yogyakarta: PT. Hanindita, 1984), hlm. 16.]
[4] Undang-undang No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika pasal 36 ayat 4 sub b: “secara melawan hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika diancam dengan  pidana mati”, sedangkan pasal 36 ayat 5 sub b mengancam dengan pidana mati perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal 23 ayat 5: “secara tanpa hak mengimpor, mengeskspor, menerima, menawarkan untuk dijual, membeli, menyerahkan, menjasi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika [Lihat Andi Hamzah – A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia: Di Masa Lalu, Kini dan Di Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 130.]
[5] KUHP No. 4 tahun 1976 pasal 479 (k) ayat 2: “mengancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun bagi barangsiapa dalam pesawat udara dengan perbuatan melawan hukum merampas atau mempertahankan perampasan akan menguasai pesawat udara dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendilan pesawat udara, jika perbuatan sampai menyebabkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara”. KUHP pasal 444: “jika kekerasan mengakibatkan seseorang di dalam kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka nahkoda, panglima atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selam waktu tertentu paling lama dua puluh tahun” [Lihat. Andi Hamzah – A. Sumangelipu, Pidana Mati..., hlm. 18.]
[6] JPIC OFM, “Keadilan melampaui Perbedaan” dalam Gita Sang Surya, no. 3/thn. 1 (Oktober-Desember 2006), hlm. 13.
[7] Mahmud, Sukandar, Keliek Kristianto, Detik-detik Kematian Saddam Hussein, (Yogyakarta: An Naba’, 2007), hlm. 54-57.
[8] Andi Hamzah, A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia: Di masa Lalu, Kini dan di Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 130.
[9] Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indoensia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1995), hlm. 1225.
[10] Paulus Aurelius Wolo Wake, Hukuman Mati sebagai Pelanggaran terhadap Martabat Manusia (SInaksak : Fakultas Filsafat UNIKA St. Thomas / Sumut, 2008), hlm. 23-24. (skripsi)
[11] Paulus Aurelius Wolo Wake, Hukuman Mati..., hlm. 11-12.
[12] Gonzales Largus Nadeak, Bioetika : Mempromosikan Budaya Kehidupan (Pematangsiantar Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Thomas, 2003), hlm. 56;  (Diktat Kuliah). Bdk., juga., Sunarto Petrus, Suatu Tinjauan Umum dan Moral Katolik tentang Hukuman Mati (Sinaksak : Fakultas Filsafat UNIKA St. Thomas / Sumut, 1993), hlm. 57. (skripsi).
[13] Karl-Heinsz Peschke, Etika Kristiani jilid IV: Kewajiban Moral dalam Hidup Sosial (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 88-89.
[14] Andi Hamzah, A. Sumangelipu, Pidana Mati..., hlm. 29.
[15] Piet Go, Hidup dan Kesehatan, (Malang: STFT Widya Sasana, 1984), hlm. 454.
[16] Piet Go, Hidup, hlm. 454.
[17] Sunarto Petrus, Suatu Tinjauan …, hlm. 104.              

[18] Piet Go, Hidup, hlm.458-459.
[19] Piet Go, Hidup, hlm.458-460; bdk. KOnsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini” (GS) 16, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi Penereangan KWI – Obor, 1993). Selanjutnya disingkat dengan GS diikuti nomor yang dikutip.
[20] Andi Hamzah, A. Sumangelipu, Pidana Mati..., hlm. 41.
[21] Piet Go, Hidup, hlm.458-460.
[22] Tahta Suci, Hukuman Mati (Seri Dokumen Gereja, no. 87), diterjemahkan oleh R.P. Piet Go (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2006), hlm. 33.
[23] Tahta Suci, Hukuman..., hlm. 35-36.
[24] Tahta Suci, Hukuman..., hlm. 22-23.
[25] William P. Saunders, “Straight Answers: Capital Punishment and Church Teaching”, (Arlington Catholic Herald, Inc.,2001), http://yesaya.indocell.net/id935.htm, 04 Mei 2011.
[26] Tahta Suci, Hukuman..., hlm. 23.
[27] Tahta Suci, Hukuman..., hlm. 41-42.
[28]Tahta Suci, Hukuman..., hlm.42-43.